Desa Pamotan Pangandaran

Sejarah Terowongan Wilhelmina: Jejak Kolonial di Bumi Pangandaran

Sejarah Terowongan Wilhelmina – Di balik rimbunnya pepohonan di Kecamatan Kalipucang, Pangandaran, tersimpan sebuah saksi bisu perjalanan panjang sejarah transportasi di Jawa Barat: Terowongan Wilhelmina.
Bangunan kolonial ini tidak hanya menjadi bukti kemajuan teknik pada masanya, tetapi juga menyimpan cerita perjuangan dan misteri yang hingga kini masih terasa auranya.

Awal Pembangunan: Menerobos Batuan di Ujung Selatan Jawa

sejarah terowongan wilhelmina

Pembangunan Terowongan Wilhelmina dimulai pada sekitar tahun 1913 oleh Staats Spoorwegen, perusahaan kereta api Hindia Belanda.
Tujuannya sederhana namun ambisius: membuka jalur kereta Banjar–Cijulang untuk mengangkut hasil bumi dari perkebunan di selatan Jawa Barat menuju kota-kota besar.

Namun, medan yang dihadapi tidak mudah. Perbukitan batu keras, hutan lebat, dan akses yang serba terbatas membuat proyek ini berjalan lambat.
Banyak pekerja lokal jatuh sakit, bahkan ada yang meninggal karena kondisi kerja yang berat dan terpencil dari pusat layanan kesehatan.

Meski begitu, pembangunan tetap berlanjut hingga akhirnya terowongan sepanjang 1.116 meter ini selesai dan mulai beroperasi sekitar 1921–1924.
Pada masanya, ini adalah salah satu terowongan kereta terpanjang di Indonesia.

Di Balik Nama Wilhelmina

sejarah terowongan wilhelmina
Sumber Foto: Ratu Wilhelmina/royal-house.nl

Nama Terowongan Wilhelmina diambil dari Ratu Wilhelmina Helena Pauline Maria, penguasa Belanda yang memerintah dari 1890 hingga 1948.
Pemberian nama ini bukan sekadar penghormatan, tetapi juga simbol kekuasaan kolonial pada era itu.

Bagi masyarakat lokal, terowongan ini juga dikenal sebagai Terowongan Sumber, sebuah nama yang lebih dekat dengan keseharian mereka.
Meski nama resminya diambil dari kerajaan, cerita rakyat yang menyelimuti tempat ini tetap lekat di ingatan warga sekitar.

Baca juga: Hasil Bumi Desa Pamotan: Potensi Alam yang Menopang Kehidupan Warga

Saksi Sejarah dan Sisa-Sisa Kejayaan Rel Kereta

Pada masa jayanya, Terowongan Wilhelmina menjadi jalur vital yang menghubungkan daerah perkebunan di selatan Jawa Barat dengan pusat distribusi.
Hasil bumi seperti kopra, rempah, dan kayu diangkut melalui jalur ini untuk kemudian dipasarkan lebih luas.

Namun, seiring waktu, jalur kereta ini mulai ditinggalkan.
Sejak awal 1980-an, terowongan ini resmi nonaktif. Rel kereta banyak yang hilang, dan semak belukar mulai menguasai jalurnya.

Kini, yang tersisa adalah lorong panjang yang gelap dan lembap, dengan dinding batu yang seolah menyimpan gema masa lalu.

Aura Misterius yang Melekat

Bagi sebagian masyarakat, Terowongan Wilhelmina bukan sekadar bangunan bersejarah.
Suasana sepi, gelap, dan lembap membuat banyak cerita mistis muncul dari generasi ke generasi.
Bahkan hingga kini, aura misterius itu masih bisa dirasakan oleh siapa pun yang berani menelusuri lorong panjangnya.

Warisan yang Perlu Dijaga

Lebih dari sekadar peninggalan kolonial, Terowongan Wilhelmina adalah warisan sejarah transportasi dan budaya lokal Pangandaran.
Bangunan ini mengingatkan kita pada perjalanan panjang pembangunan infrastruktur di masa lalu—penuh perjuangan, risiko, dan cerita manusia di baliknya.

Hari ini, meskipun fungsinya telah berhenti, Terowongan Wilhelmina tetap menjadi magnet bagi penikmat sejarah, fotografer, dan pencinta wisata unik.
Ia berdiri sebagai pengingat bahwa di balik kemegahan pembangunan, selalu ada cerita ketekunan dan pengorbanan.

💡 Ingin tahu lebih banyak cerita sejarah dan info menarik lainnya dari Desa Pamotan? Jangan lewatkan berita terbaru di website resmi Desa Pamotan dan nantikan update informatif selanjutnya!

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top